Minggu, 31 Juli 2016


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Rongga Mulut 2.1.1. Pendahuluan  Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum keras), dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, ‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut (Yousem et al., 1998).  Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir (Tortora et al., 2009).
Gambar 2.1. Anatomi Rongga Mulut (Tortorra et al., 2009)
 2.1.2. Bibir dan Palatum  Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut. Bibir terdiri dari otot orbikularis oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal dan membran mukosa pada bagian internal (Seeley et al., 2008 ; Jahan-Parwar et al., 2011).  Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior (Jahan-Parwar et al., 2011). Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitelepitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion (Tortorra et al., 2009; Jahan-Parwar et al., 2011). Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otototot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara. Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga
mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak). Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and Hoehn, 2010; JahanParwar et al., 2011).
Gambar 2.2. Anatomi Palatum (Agave Clinic, 2007)
2.1.3. Lidah  Lidah merupakan salah satu organ aksesoris dalam sistem pencernaan. Secara embriologis, lidah mulai terbentuk pada usia 4 minggu kehamilan. Lidah tersusun dari otot lurik yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah beserta otototot yang berhubungan dengan lidah merupakan bagian yang menyusun dasar dari
rongga mulut. Lidah dibagi menjadi dua bagian yang lateral simetris oleh septum median yang berada disepanjang lidah. Lidah menempel pada tulang hyoid pada bagian inferior, prosesus styloid dari tulang temporal dan mandibula (Tortorra et al., 2009; Marieb and Hoehn, 2010 ; Adil et al., 2011).  Setiap bagian lateral dari lidah memiliki komponen otot-otot ekstrinsik dan intrinsik yang sama. Otot ekstrinsik lidah terdiri dari otot hyoglossus, otot genioglossus dan otot styloglossus. Otot-otot tersebut berasal dari luar lidah (menempel pada tulang yang ada di sekitar bagian tersebut) dan masuk kedalam jaringan ikat yang ada di lidah. Otot-otot eksternal lidah berfungsi untuk menggerakkan lidah dari sisi yang satu ke sisi yang berlawanan dan menggerakkan ke arah luar dan ke arah dalam. Pergerakan lidah karena otot tersebut memungkinkan lidah untuk memosisikan makanan untuk dikunyah, dibentuk menjadi massa bundar, dan dipaksa untuk bergerak ke belakang mulut untuk proses penelanan. Selain itu, otot-otot tersebut juga membentuk dasar dari mulut dan mempertahankan agar posisi lidah tetap pada tempatnya.  Otot-otot intrisik lidah berasal dari dalam lidah dan berada dalam jaringan ikat lidah. Otot ini mengubah bentuk dan ukuran lidah pada saat berbicara dan menelan. Otot tersebut terdiri atas : otot longitudinalis superior, otot longitudinalis inferior, otot transversus linguae, dan otot verticalis linguae. Untuk menjaga agar pergerakan lidah terbatas ke arah posterior dan menjaga agar lidah tetap pada tempatnya, lidah berhubungan langsung dengan frenulum lingual, yaitu lipatan membran mukosa yang berada pada bagian tengah sumbu tubuh dan terletak di permukaan bawah lidah, yang menghubungkan langsung antara lidah dengan dasar dari rongga mulut (Tortorra et al., 2009; Marieb and Hoehn, 2010).  Pada bagian dorsum lidah (permukaan atas lidah) dan permukaan lateral lidah, lidah ditutupi oleh papila. Papila adalah proyeksi dari lamina propria yang ditutupi oleh epitel pipih berlapis. Sebagian dari papila memiliki kuncup perasa, reseptor dalam proses pengecapan, sebagian yang lainnya tidak. Namun, papila yang tidak memiliki kuncup perasa memiliki reseptor untuk sentuhan dan berfungsi untuk menambah gaya gesekan antara lidah dan makanan, sehingga mempermudah lidah untuk menggerakkan makanan di dalam rongga mulut.
 Secara histologi (Mescher, 2010), terdapat empat jenis papila yang dapat dikenali sampai saat ini, yaitu : 1. Papila filiformis. Papila filiformis mempunyai jumlah yang sangat banyak di lidah. Bentuknya kerucut memanjang dan terkeratinasi, hal tersebut menyebabkan warna keputihan atau keabuan pada lidah. Papila jenis ini tidak mengandung kuncup perasa. 2. Papila fungiformis. Papila fungiformis mempunyai jumlah yang lebih sedikit dibanding papila filiformis. Papila ini hanya sedikit terkeratinasi dan  berbentuk menyerupai jamur dengan dasarnya adalah jaringan ikat. Papila ini memiliki beberapa kuncup perasa pada bagian permukaan luarnya. Papila ini tersebar di antara papila filiformis. 3. Papila foliata. Papila ini sedikit berkembang pada orang dewasa, tetapi mengandung lipatan-lipatan pada bagian tepi dari lidah dan mengandung kuncup perasa. 4. Papila sirkumfalata. Papila sirkumfalata merupakan papila dengan jumlah paling sedikit, namun memiliki ukuran papila yang paling besar dan mengandung lebih dari setengah jumlah keseluruhan papila di lidah manusia. Dengan ukuran satu sampai tiga milimeter, dan berjumlah tujuh sampai dua belas buah dalam satu lidah, papila ini umumnya membentuk garis berbentuk menyerupai huruf V dan berada di tepi dari sulkus terminalis. Pada bagian akhir dari papila sirkumfalata, dapat dijumpai sulkus terminalis. Sulkus terminalis merupakan sebuah lekukan melintang yang membagi lidah menjadi dua bagian, yaitu lidah bagian rongga mulut (dua pertiga anterior lidah) dan lidah yang terletak pada orofaring (satu pertiga posterior lidah). Mukosa dari lidah yang terletak pada orofaring tidak memiliki papila, namun tetap berstruktur bergelombang dikarenakan keberadaan tonsil lingualis yang terletak di dalam mukosa lidah posterior tersebut (Saladin, 2008; Marieb and Hoehn, 2010).

Gambar 2.3. Penampang Lidah (Netter, 2011)
2.1.4 Gigi  Manusia memiliki dua buah perangkat gigi, yang akan tampak pada periode kehidupan yang berbeda. Perangkat gigi yang tampak pertama pada anakanak disebut gigi susu atau deciduous teeth. Perangkat kedua yang muncul setelah perangkat pertama tanggal dan akan terus digunakan sepanjang hidup, disebut sebagai gigi permanen. Gigi susu berjumlah dua puluh empat buah yaitu : empat buah gigi seri (insisivus), dua buah gigi taring (caninum) dan empat buah geraham (molar) pada setiap rahang. Gigi permanen berjumlah tiga puluh dua buah yaitu : empat buah gigi seri, dua buah gigi taring, empat buah gigi premolar, dan enam buah gigi geraham pada setiap rahang (Seeley et al., 2008).  Gigi susu mulai tumbuh pada gusi pada usia sekitar 6 bulan, dan biasanya mencapai satu perangkat lengkap pada usia sekitar 2 tahun. Gigi susu akan secara bertahap tanggal selama masa kanak-kanak dan akan digantikan oleh gigi permanen.

Gambar 2.4. Gigi Susu dan Gigi Permanen (Tortorra et al., 2009)
 Gigi melekat pada gusi (gingiva), dan yang tampak dari luar adalah bagian mahkota dari gigi. Menurut Kerr et al. (2011), mahkota gigi mempunyai lima buah permukaan pada setiap gigi. Kelima permukaan tersebut adalah bukal (menghadap kearah pipi atau bibir), lingual (menghadap kearah lidah), mesial (menghadap kearah gigi), distal (menghadap kearah gigi), dan bagian pengunyah (oklusal untuk gigi molar dan  premolar, insisal untuk insisivus, dan caninus).  Bagian yang berada dalam gingiva dan tertanam pada rahang dinamakan bagian akar gigi. Gigi insisivus, caninus, dan premolar masing-masing memiliki satu buah akar, walaupun gigi premolar pertama bagian atas rahang biasanya memiliki dua buah akar. Dua buah molar pertama rahang atas memiliki tiga buah akar, sedangkan molar yang berada dibawahnya hanya memiliki dua buah akar.  Bagian mahkota dan akar dihubungkan oleh leher gigi. Bagian terluar dari akar dilapisi oleh jaringan ikat yang disebut cementum, yang melekat langsung dengan ligamen periodontal. Bagian yang membentuk tubuh dari gigi disebut dentin. Dentin mengandung banyak material kaya protein yang menyerupai
tulang. Dentin dilapisi oleh enamel pada bagian mahkota, dan mengelilingi sebuah kavitas pulpa pusat yang mengandung banyak struktur jaringan lunak (jaringan ikat, pembuluh darah, dan jaringan saraf) yang secara kolektif disebut pulpa. Kavitas pulpa akan menyebar hingga ke akar, dan berubah menjadi kanal akar. Pada bagian akhir proksimal dari setiap kanal akar, terdapat foramen apikal yang memberikan jalan bagi pembuluh darah, saraf, dan struktur lainnya masuk ke dalam kavitas pulpa (Seeley et al., 2008, Tortorra et al., 2009).
2.2. Flora Normal 2.2.1. Pendahuluan  Istilah ‘flora normal’ menunjukkan populasi mikroorganisme yang hidup di kulit dan membran mukosa orang normal yang sehat. Beberapa jenis bakteri dan jamur merupakan dua jenis organisme yang termasuk ke dalam kumpulan flora normal. Keberadaaan flora virus normal masih diragukan (Brooks et al., 2008; Levinson, 2008).  Kulit dan membran mukosa selalu mengandung berbagai mikroorganisme yang dapat tersusun menjadi dua kelompok, yaitu: flora residen dan flora transien. Flora residen terdiri dari jenis mikroorganisme yang relatif tetap dan secara teratur ditemukan di daerah tertentu pada usia tertentu; jika terganggu, flora tersebut secara cepat akan tumbuh kembali dengan sendirinya. Flora transien terdiri dari mikroorganisme yang nonpatogen atau secara potensial bersifat patogen yang menempati kulit atau membran mukosa selama beberapa jam, hari, atau minggu; berasal dari lingkungan, tidak menyebabkan penyakit, dan tidak dapat menghidupkan dirinya sendiri secara permanen di permukaan. Anggota flora transien secara umum memiliki makna kecil selama flora normal masih tetap utuh. Namun, apabila flora residen terganggu, mikroorganisme transien dapat berkolonisasi, berproliferasi dan menyebabkan penyakit (Brooks et al., 2008).
2.2.2. Peran Flora Residen  Mikroorganisme yang secara konstan ada di permukaan tubuh bersifat komensal. Pertumbuhannya di daerah tertentu bergantung pada faktor-faktor
fisiologi, yaitu temperatur, kelembaban, dan adanya zat gizi serta zat inhibitor tertentu. Keberadaan flora normal tersebut tidak penting bagi kehidupan, karena hewan “bebas mikroorganisme” dapat hidup pada keadaan tidak adanya flora mikroba normal (Brooks et al., 2008; Nasution, 2010). Flora residen di daerah tertentu memainkan peranan yang nyata dalam mempertahankan kesehatan dan fungsi normal. Anggota flora residen dalam saluran cerna menyintesis vitamin K dan membantu absorpsi makanan. Pada memnran mukosa dan kulit, flora residen mencegah kolonisasi patogen dan kemungkinan terjadinya penyakit melalui “interferensi bakteri”. Mekanisme gangguan interfernsi tersebut tidak jelas. Mekanisme tersebut dapat meliputi kompetisi terhadap reseptor atau tempat pengikatan (binding sites) pada sel pejamu, kompetisi mendapatkan makanan, saling menghambat oleh hasil metabolik atau toksik, saling menghambat oleh bahan antibiotik atau bakteriosin, atau dengan mekanisme lain. Supresi flora normal secara jelas menyebabkan kekosongan lokal parsial yang cenderung diisi oleh organisme dari lingkungan atau dari bagian tubuh yang lain. Organisme tersebut bersifat oportunistik dan dapat menjadi patogen (Brooks dkk, 2008; Nasution, 2010). Sebaliknya, anggota flora normal sendiri dapat menyebabkan penyakit dalam keadaan tertentu. Organisme-organisme tersebut beradaptasi dengan cara hidup yang noninvasif yang disebabkan oleh keterbatasan keadaan lingkungan. Jika dipindahkan secara paksa akibat pembatasan lingkungan tersebut dan dimasukkan ke dalam aliran darah atau jaringan, organisme tersebut dapat menjadi patogenik. Hal tersebut tampak pada individu yang berada dalam status imunokompromi dan sangat lemah karena suatu penyakit kronik, dimana flora normal akan menyebabkan suatu penyakit pada tempat anatomisnya (Levinson, 2008). Hal yang penting adalah bahwa mikroba yang tergolong flora residen normal tidak membahayakan dan dapat menguntungkan di lokasi normalnya pada penjamu serta pada keadaan tanpa kelainan yang menyertai. Organisme tersebut dapat menyebabkan penyakit jika dimasukkan dalam jumlah besar dan jika terdapat faktor predisposisi. Berikut adalah tabel mengenai jenis flora normal
yang sering ditemukan pada berbagai tempat di tubuh manusia (Kayser et al., 2005). Tabel 2.1. Tabel Distribusi Flora Normal Pada Manusia Sumber : Kayser et al., 2005
2.2.3 Flora Normal Mulut dan Saluran Pernapasan Atas  Membran mukosa mulut dan faring sering steril saat lahir, tetapi dapat terkontaminasi saat melewati jalan lahir. Dalam waktu 4-12 jam setelah lahir, Streptococcus viridans dapat ditemukan sebagai anggota flora residen yang paling menonjol dan tetap demikian seumur hidup. Organisme tersebut kemungkinan berasal dari saluran pernapasan ibu dan orang yang hadir saat persalinan. (Nasution, 2010).  Di faring dan trakea, flora normal yang serupa tumbuh sendiri, sedangkan beberapa bakteri dalam bronkus normal. Bronkus kecil dan alveoli secara normal
adalah steril. Organisme yang dominan dalam saluran pernapasan atas terutama faring, adalah neisseria dan streptokokus alfa-hemolitik, dan nonhemolitik. Stafilokokus, difteroid, hemofilus, pneumokokus, mikoplasma, dan prevotella juga ditemukan.  Infeksi mulut dan saluran pernapasan biasanya disebabkan oleh flora oronasal campuran, termasuk anaerob. Ada beberapa penyakit dalam rongga mulut yang disebabkan oleh flora normal, diantaranya adalah karies gigi dan penyakit periodontal (Nester et al., 2008; Nasution, 2010).
2.3.  Karies Gigi dan Penyakit Periodontal   Penyakit utama yang disebabkan oleh flora normal yang di rongga mulut adalah karies gigi dan penyakit periodontal. Kedua penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang paling penting di dunia. Karies gigi masih merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang serius di negara berkembang, dimana penyakit ini diderita 60-90% anak usia sekolah dan hampir keseluruhan dari orang dewasa (Petersen et al., 2005; Nester et al., 2008).  Masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia sendiri juga masih memerlukan perhatian khusus. Menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2003 menyebutkan bahwa 81 persen anak usia 5 tahun mengalami karies, dan 51 persen anak diatas 10 tahun mengalami karies yang belum mendapatkan perawatan. Data SKRT tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi kareis gigi pada masyarakat Indonesia adalah 90 persen. Ini merupakan indikator bagi masyarakat Indonesia bahwa kesadaran masyarakat Indonesia masih sangat kurang terhadap kesehatan gigi dan mulut (Herwanda dan Bahar, 2009). Menurut The National Preventive Dentistry Program, 20% dari 60% penderita karies yang merupakan anak-anak, merupakan anak-anak  yang berasal dari status ekonomi rendah. Sedangkan penyakit periodontal merupakan masalah yang tersebar luas pada masyarakat terutama orang dewasa (Burt, 2005; Peng et al., 2011).
Karies gigi merupakan suatu  proses kronis regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat sehingga timbul destruksi komponen-komponen organik yang akhirnya terjadi kavitas. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya karies yaitu individu yang rentan, tersedianya karbohidrat di rongga mulut yang cukup, terbentuknya plak, dan banyaknya mikroorganisme kariogenik seperti Streptococcus mutans (Prakash et al.,2012).
Gambar 2.5. Faktor Penyebab Karies Gigi (http://dentalresource.org/topic54dentalcaries.html)
 Steptococcus mutans merupakan penyebab utama dari karies. Nama ‘mutans’ diberikan dikarenakan seringnya transisi bentuk dari bentuk kokus menjadi kokobasil. Sampai sekarang telah ditemukan tujuh buah spesies Steptococcus mutans yang ditemukan pada manusia dan hewan. Sebanyak delapan buah serotipe (a-h) telah dikenali berdasarkan susunan antigen spesifik yang berada pada dinding sel bakteri tersebut. Diantara semua serotipe dari Streptococcus mutans yang telah dikenali, hanya tiga buah serotipe Streptococcus mutans yang ditemukan pada manusia yaitu serotipe c, e ,dan f (Samaranayake, 2002).
 Gambar 2.6. Streptococcus mutans pada Pewarnaan Gram (http://www.textbookofbacteriology.net/normalflora.html)
 Streptococcus mutans bersama dengan beberapa bakteri jenis lain akan berkolonisasi di permukaan luar dari gigi untuk membentuk plak. Jika plak yang terbentuk tidak dibersihkan secara manual dengan menggunakan sikat gigi atau secara alamiah dengan menggunakan metode pembersihan berupa saliva, asam yang dihasilkan bakteri sebagai hasil metabolisme karbohidrat di gigi akan menyebabkan demineralisasi dari enamel. Fisura dan celah dari permukaan gigi adalah tempat yang paling sering terjadinya kerusakan gigi. Seiring berjalannya waktu, karies akan menyebar hingga ke bagian dentin, yang menyebabkan terbentuknya kavitas dari enamel dan penetrasi menuju ke bagian pulpa. Jika karies sudah mencapai pulpa, keadaan ini disebut dengan pulpitis akut. Pada fase akut, dimana infeksi pulpa masih terbatas, gigi menjadi sensitif terhadap perkusi, rasa dingin dan rasa panas. Rasa nyeri di sekitar daerah infeksi akan hilang jika stimulus yang merangsang dihilangkan (Kasper et al., 2005).  Pada saat infeksi sudah mengenai semua bagian pulpa, akan terjadi pulpitis yang bersifat ireversibel dan akan menyebabkan nekrosis pulpa pada akhirnya. Pada stadium akhir dari karies gigi, rasa nyeri sangat hebat pada daerah infeksi. Rasa sakit yang dirasakan bersifat tajam dan akan bertambah buruk jika berada dalam posisi berbaring. Ketika telah terjadi nekrosis sempurna pada gigi, rasa nyeri akan muncul secara konstan atau intermiten, namun sensitivitas terhadap rasa dingin akan hilang (Kasper et al., 2005).
 Penyakit periodontal merupakan suatu penyakit akibat infeksi yang mengenai jaringan yang menyokong gigi. Gigi disokong oleh gusi atau gingiva, dan akar dari gigi akan diikat oleh ligamen periodontal. Pada penyakit periodontal, jaringan penyokong gigi hancur. Jika bagian yang hancur adalah bagian gusi, disebut sebagai gingivitis. Sedangkan jika hanya melibatkan jaringan ikat dan tulang, disebut periodontitis (Cartensen et al., 2012).  Proses terjadinya penyakit periodontal dimulai secara tak kasat mata. Proses tersebut mula-mula terjadi diatas garis gusi dan didalam sulkus gingiva. Plak, termasuk plak yang telah termineralisasi (calculus), dapat dicegah pembentukannya dengan menjaga kesehatan rongga mulut dan pembersihan oleh tenaga profesional secara berkala. Inflamasi kronik akan terjadi dan menyebabkan hiperemi yang tidak menyakitkan di bagian gingiva (gingivitis) yang biasanya akan berdarah jika disikat. Jika tidak diperhatikan, penyakit ini akan menjadi berat sehingga akan meyebabkan terbukanya sulkus yang telah dimineralisasi dan destruksi dari jaringan ikat periodontal. Kantung yang terbentuk di sekeliling dari gigi yang berisi pus dan debris (Kasper et al., 2005).  Ketika periodontium sudah rusak sepenuhnya, gigi akan menjadi longgar dan dapat terlepas. Penyakit periodontal yang akut dan agresif sangat jarang ditemukan dibandingkan dengan yang kronik. Tetapi jika individu stres atau terpapar dengan patogen baru, penyakit yang sangat progresif dan bersifat destruktif yang mengenai jaringan periodontal akan terjadi.  Kejadian karies gigi dan penyakit periodontal sebenarnya dapat dicegah,yaitu dengan cara menjaga dan memelihara kesehatan rongga mulut. Hal yang dapat digunakan sebagai acuan untuk memelihara kesehatan rongga mulut akan dibahas pada bagian selanjutnya.
2.4. Pemeliharaan Kesehatan Rongga Mulut  Meskipun di beberapa negara berkembang dilaporkan sudah terjadi perbaikan atau peningkatan kesehatan gigi mulut, namun kesehatan gigi mulut tetap merupakan tantangan masalah kesehatan yang perlu ditanggulangi. Setidaknya ada enam masalah yang timbul dan dihubungkan dengan masalah
kesehatan gigi. Keenam masalah tersebut adalah karies, penyakit periodontal, halitosis, stomatitis, gangguan pada sendi temporomandibular, dan beberapa penyakit sistemik yang seperti penyakit jantung koroner, Diabetes Mellitus, dan pneumonia. Masalah-masalah tersebut saling terkait dan bisa timbul bersamaan dan berdampak terhadap kualitas hidup seseorang (Pintauli and Hamada, 2008).  WHO (World Health Organization) sendiri sudah sejak tahun 1986 menyelenggarakan konferensi internasional untuk mengembangkan pendekatan pencegahan yang radikal terhadap kesehatan umum masyarakat. Berdasarkan pendekatan inilah, WHO Global Oral Health Program membuat upaya peningkatan kesehatan gigi mulut masyarakat. Selain pendekatan pentingnya ‘pola hidup sehat’ , pendekatan juga ditujukan kepada pendekatan faktor risiko. Semua pendekatan ini dititikberatkan kepada upaya pencegahan. Di Indonesia, upaya pencegahan lebih terpusat pada karies gigi dan penyakit periodontal yang dapat dikatakan sebagai penyakit mulut yang dapat dicegah. Kontrol plak atau tindakan menyikat gigi merupakan kunci keberhasilan untuk mempunyai rongga mulut yang sehat dalam upaya pencegahan dan pemeliharaan rongga mulut yang optimal.  ADA (American Dentistry Association) merekomendasikan beberapa cara untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Rekomendasi tersebut adalah tentang menggosok gigi, pengunaan benang pembersih ataupun pembersih sela gigi, rekomendasi pola hidup sehat, dan melakukan pengecekan gigi secara berkala ke pusat perawatan gigi yang memiliki tenaga profesional yang memiliki kemampuan memeriksa dan membersihkan gigi (ADA, 2012). ADA merekomendasikan kepada masyarakat agar meyikat gigi sebanyak dua kali sehari dengan menggunakan pasta gigi berfluor yang telah diakui oleh ADA. Pada saat meyikat gigi, usahakan membersihkan seluruh permukaan gigi. Penggunaan sikat gigi elektrik dianjurkan pada orang yang menderita artritis sehingga sulit menggerakkan tangan. Kehigienisan sikat gigi juga penting dijaga, dimana tidak dianjurkan menyimpan sikat gigi di tempat yang tertutup karena dapat menyebabkan pertumbuhan kuman pada sikat gigi. Sikat gigi diganti setiap tiga atau empat bulan, atau jika bulu sikat telah berjerumbai, karena bulu sikat
yang telah berjerubai tidak dapat membersihkan gigi dengan baik. Penggunaan alat bantu untuk membersihkan gigi dianjurkan untuk membersihkan sela-sela gigi yang tidak dapat dibersihkan dengan cara menggosok gigi. Alat bantu yang dianjurkan oleh ADA adalah benang pembersih dan pembersih sela gigi. Alat bantu ini diharapkan dapat membantu melepaskan lapisan lengket yang disebut plak dan sisa-sisa makanan yang terperangkap di sela-sela gigi dan di bawah garis gusi (MFMER, 2011; ADA, 2012). Faktor diet juga berpengaruh pada kebersihan rongga mulut. ADA merekomendasikan diet yang seimbang dan pembatasan makan makanan ringan diantara waktu makan. Selain itu, melakukan pemeriksaan kesehatan gigi pada pusat kesehatan yang memiliki tenaga terlatih juga merupakan salah satu upaya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Pemeriksaan rutin yang direkomendasikan untuk orang dewasa adalah kira-kira tiga bulan sampai dua tahun sekali. Makin sehat kesehatan gigi dan mulut seseorang, maka makin lama waktu selang antara satu pemeriksaan rutin dengan pemeriksaan rutin lainnya. Namun, jika ditemukan kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut yang buruk, jarak antar pemeriksaan rutin akan semakin sempit (NHS, 2011). Pembersihan plak supragingival setiap hari merupakan faktor utama dalam mencegah kejadian karies, gingivitis dan periodontitis. Cara umum untuk menghilangkan plak bakterial tersebut adalah dengan cara melepaskan biofilm secara manual dengan menggunakan sikat gigi dan penggunaan benang gigi. Namun, beberapa studi menyatakan bahwa waktu menyikat gigi rata-rata pada orang dewasa kurang untuk dapat kebersihan rongga mulut yang baik. Informasi lainnya menunjukkan bahwa hanya 2-10% dari pasien yang menggunakan benang gigi unutk membersihkan sela-sela gigi. Selain hal tersebut, sebuah studi menyatakan bahwa kepatuhan pasien akan berkurang seiring berjalannya waktu walaupun telah diberikan edukasi sebelumnya (Marchetti et al., 2011).   Banyak studi menunjukkan bahwa ternyata obat kumur efektif dan berguna untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Obat kumur digunakan dengan cara dikumur dalam rongga mulut dengan bantuan otot-otot pipi, bibir, dan lidah sehingga partikel dan debris akan lepas dari rongga mulut. Obat kumur yang
mengandung antimikroba efektif terhadap mikroba yang berada pada permukaan gingiva dan mukosa rongga mulut (Daniel et al., 2008; Marchetti et al., 2011).  Banyak produk obat kumur yang mengandung alkohol sebagai komposisi utama. Alkohol dalam obat kumur digunakan sebagai pelarut dari perasa yang digunakan untuk menutupi rasa dari bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pasien dengan xerostomia, ketergantungan alkohol, atau jaringan yang senstif terhadap alkohol harus menggunakan obat kumur yang bebas alkohol. Menurut Haq et al. (2009), alkohol dalam obat kumur tidak meningkatkan efektivitas dari kerja obat kumur tersebut. Alkohol justru memiliki kecenderungan menyebabkan efek samping seperti rasa terbakar pada mulut karena alkohol dapat mengaktifkan vanilloid receptor-1, agreviasi dari xerostomia, dan halitosis pada sebagian kasus. Alkohol juga diduga memiliki peran dalam menyebabkan kanker pada rongga mulut karena bersifat iritatif pada epitel. Namun, menurut ADA dan FDA (Food and Drug Administration), data yang didapatkan masih belum cukup untuk membuktikan hubungan antara penggunaan obat kumur yang mengandung alkohol dengan kejadian kanker mulut (Daniel et al., 2008; Dental Guide, 2012).  Ada 3 jenis obat kumur yang tersedia dipasaran. Yang pertama adalah obat kumur yang bersifat kosmetik, dimana obat kumur tersebut hanya digunakan untuk menghilangkan bau mulut. Yang kedua adalah obat kumur antiseptik. obat kumur antiseptik banyak dipakai pada bidang kedokteran gigi sebagai terapi unutk berbagai kondisi klinis seperti mengurangi pembentukan plak gigi dan mengurangi kejadian kerusakan gigi. Sedangkan yang terakhir adalah obat kumur yang mengandung fluor. Obat kumur jenis ini digunakan oleh orang-orang dengan risiko kerusakan gigi. Namun, obat kumur jenis ini jarang digunakan karena sebagian besar fluor yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan gigi telah didapatkan dari menggosok gigi dengan pasta gigi yang mengandung fluor. ADA dan FDA merekomendasikan dua jenis obat kumur yang telah diterima oleh kedua organisasi tersebut. Kedua jenis obat kumur tersebut adalah obat kumur yang mengandung minyak esensial dan obat kumur dengan kandungan aktif klorheksidin. Kedua obat kumur tersebut biasanya digunakan pada keadaan
gingivitis dan untuk mengontrol dan mengobati biofilm plak (Daniel et al., 2008; Dental Guide, 2012).   2.5. Klorheksidin Glukonat  Klorheksidin glukonat merupakan suatu disinfektan dan suatu agen antiinfektif yang juga digunakan sebagai obat kumur untuk mencegah terbentuknya plak pada gigi. Klorheksidin glukonat memiliki rumus molekul C34H54Cl2N10O14, dengan berat molekul 897.7572. Klorheksidin memiliki titik didih pada suhu 1121.4°C dalam tekanan 760 mmHg (DrugBank, 2012; ChemNet, 2012).
Gambar 2.7. Struktur Kimia Klorheksidin Glukonat (DailyMed, 2010)
    Klorheksidin memiliki beberapa senyawa berbentuk garam, yaitu klorheksidin hidroklorida, klorheksidin asetat, dan klorheksidin glukonat. Salah satu dari ketiga senyawa tersebut yang digunakan sebagai obat kumur adalah klorheksidin glukonat. Klorheksidin sendiri memiliki nama IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) N-(4-chlorophenyl)-1-3-(6-{N-[3-(4chlorophenyl)carbamimidamidomethanimidoyl]amino}hexyl)carbamimidamidom ethanimidamide, sedangkan klorheksidin glukonat memiliki nama 1,1’hexamethylenebis [5-(p-chlorophenyl)biguanide] di-D-gluconate (DailyMed, 2010; DrugBank, 2012).  Klorheksidin bekerja sebagai agen antimikrobial topikal dikarenakan bermuatan positif. Ketika klorheksidin yang bersifat sebagai kation bereaksi dengan sel bakteri yang bermuatan negatif, akan terjadi ikatan antara keduanya. Setelah klorheksidin terabsorpsi ke dalam dinding sel dari organisme tersebut,
klorheksidin akan menghancurkan integritas dari membran sel dari organisme tersebut. Akibat dari integritas membran sel yang terganggu, maka terjadi kebocoran komponen-komponen intraseluler dari organisme tersebut. Plak, mukosa oral, dan hidroksiapatit akan sedikit menyerap klorheksidin sehingga secara tidak langsung berperan sebagai reservoir yang akan mensekresi klorheksidin secara lambat (DrugBank, 2012; Thomas, 2011).  Klorheksidin diabsorpsi secara sangat buruk pada saluran gastrointestinal. Tidak ada data yang jelas mengenai ikatan dengan protein maupun metabolisme dari klorheksidin. Ekskresi klorheksidin terutama melalui feses.  Klorheksidin diindikasikan untuk mencegah karies gigi, dekontaminasi bagian orofaring bagi pasien-pasien yang sangat sakit, higienitas pelayan kesehatan, pembersih kulit secara umum, dan pada saat persiapan dan perawatan tempat kateterisasi (DrugBank, 2012). Menurut Jarral et al. (2011), klorheksidin terbukti lebih efektif dibandingkan dengan povidon iodin sebagai pencuci tangan para dokter bedah. Klorheksidin mampu menurunkan jumlah koloni secara signifikan dan mampu menurunkan angka kejadian surgical site infection (SSI) pada proses pembedahan kontaminasi-bersih. Selain itu, klorheksidin juga terbukti efektif sebagai agen antimikroba pada keratitis yang disebabkan Acanthamoeba, dimana 83% dari 6 mata pasien mengalami penyembuhan yang lebih cepat dibanding dengan kelompok kontrol (TOXNET, 2004). Menurut Zorko dan Jerala (2008), klorheksidin memiliki kemampuan untuk berikatan dan menetralisasi lipopolisakarida (LPS) bakteri. Klorheksidin merupakan salah satu produk antiseptik yang paling banyak digunakan, baik sebagai pencuci tangan maupun obat kumur. Klorheksidin bersifat aktif terhadap berbagai jenis bakteri, baik Gram positif maupun Gram negatif dan kompatibel bila digunakan bersama dengan berbagai jenis antibiotika. Menurut Ireland (2007), klorheksidin glukonat merupakan obat kumur yang paling efektif dalam menurunkan perkembangan dari plak. Ini menyebabkan klorheksidin menjadi salah satu obat standar yang diresepkan untuk berbagai penyakit mulut, termasuk segala bentuk ulserasi pada rongga mulut dan juga untuk menurukan kejadian gingivitis.
Walaupun klorheksidin glukonat sangat efektif dalam menurunkan jumlah bakteri pada rongga mulut, klorheksidin glukonat juga memiliki efek samping yang cukup berat. Dua efek samping yang paling sering dijumpai adalah proses kolorasi (pewarnaan) pada gigi dan perubahan dari rasa suatu zat. Oleh sebab itu, produk yang mengandung klorheksidin glukonat hanya dianjurkan pemakaiannya dalam jangka waktu 30 hari setiap 3 bulan (Cappelli and Mobley, 2008).
2.6. Povidon Iodin  Povidon iodin ialah suatu iodofor yang kompleks antara yodium dengan polivinil pirolidon.Povidon iodine larut dalam air, stabil secara kimia dan larut dalam pirolidin polivinil polimer. Povidon iodin memiliki rumus molekul C6H9I2NO dan memiliki nama IUPAC 1-ethenylpyrrolidin-2-one; molecular iodine. (Kurniati, 2008; PubChem, 2012; Chembase, 2012).
Gambar2.8. Struktur Kimia Povidon Iodin (Drugs, 2012)
   Iodin merupakan salah satu antiseptik paling tua. Preparat iodin yang terdahulu menyebabkan nyeri lokal dan reaksi jaringan. Povidon iodin sendiri telah dikenal sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Povidon iodin yang mengandung 10% polivinilpirolidon iodin merupakan yang produk yang paling banyak diproduksi secara komersil oleh pabrik-pabrik (Khan, 2006).  Povidon iodin memiliki efek bakterisidal dan efektif untuk berbagai jenis bakteri, jamur, maupun spora. Efek bakterisidal dan fungisidal dari povidon iodin berlangsung selama beberapa detik. Povidon iodin diduga memiliki cara kerja
dengan menginaktivasi substrat vital sitoplasma, yang sangat penting untuk kelangsungan hidup dari bakteri.  Povidon iodin dikontraindikasikan untuk pasien dengan kelainan fungsi tiroid, hipersensitif terhadap povidon iodin, dan juga wanita dalam masa hamil dan menyusui (Samaranayake, 2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar